Kamis, 12 Juli 2012

Profile Presiden Soeharto



Presiden Soeharto

Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah.

Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Semula disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes, lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri tani.

Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.

Perkawinan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.

Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).

Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998. (Dari Berbagai Sumber)

 Ada beberapa hal yang berkaitan dengan Landasan Berfikir Jend. Soeharto :

Kemauan yang Kuat untuk Merubah Nasib

Jend. Soeharto adalah sosok anak desa yang memiliki cita-cita dan kemauan yang keras. Dia bukan seorang sarjana, dan karier militernya diawali sebagai seorang opsir KNIL. Dia bukan lulusan Akademi Militer. Namun demikian, dengan berbekal kerja keras dan kecerdikan, Pangkat Jenderal TNI berhasil diraihnya. Bukan hanya sekedar Jenderal Staff di lingkungan TNI AD, tapi Jabatan Pangkostrad. Pangkostrad merupakan jabatan prestise di lingkungan TNI AD. Semua Jenderal TNI AD mendambakan jabatan tersebut. Tetapi hanya Jenderal pilihan yang mampu meraihnya. Dan salah satunya adalah Jenderal Soeharto. Di sini tampak kelebihan Jenderal Soeharto dibanding Jenderal lainnya.


Kemampuan Menghapus Jejak Hitam Masa Lalu       
 Perjalanan karier militer Jenderal Soeharto tidak selalu putih. Jenderal Soeharto kerap tersandung dalam lembaran hitam. Satu kasus yang sangat menonjol dan sangat kritis dalam kariernya di dunia mliter adalah kasus penyelundupan peralatan tempur milik TNI AD. Hal ini hampir membuat karier militernya berakhir tragis. Namun kembali pada kemampuannya sebagai Dasamuka Indonesia, maka dengan tepat dia mampu memilih wajah yang harus dipakai dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Dengan cerdiknya dia dapat menghindar dari berbagai tuntutan. Bahkan catatan hitam tersebut tidak menjadi penghalang bagi Jenderal Soeharto dalam merebut jabatan PANGKOSTRAD. Mengapa jabatan Pangkostrad tidak diberikan kepada Jenderal yang memiliki catatan bersih? Jawabannya hanya satu, yaitu Jenderal Soeharto memiliki strategi yang jauh lebih tinggi dibanding  Jenderal lainnya.


Kamampuan Memanfaatkan Peluang yang Ada

Peristiwa G30S PKI membuat kalang kabut semua petinggi yang ada di Indonesia. Baik dari kalangan sipil maupun dari kalangan militer. Bahkan Presiden Soekarno pun terlambat dan tidak cepat melihat realita yang ada. Hal demikian tidak berlaku bagi Jenderal Soeharto. Dengan pemikiran yang tenang dan langkah yang pasti dia menciptakan peluang dalam kondisi yang ada. Dengan strategi yang halus, dia susun kekuatan. Hal ini berujung pada titik klimaksnya dengam penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret (SUPER SEMAR) dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.

Kita semua tahu betap jeniusnya Presiden Soekarno. Dunia International juga mengakui hal tersebut. Namun pada kenyataannya, Presiden Soekarno tidak mampu membaca strategi yang tengah dijalankan Jenderal Soeharto. Maka secara jujur harus kita akui bahwa Jenderal Soeharto memiliki strategi penyerangan yang demikian hebat dan halus. Hal ini hanya dimiliki oleh seorang Jenderal yang memiliki Strategi tempur dan strategi Intelijen yang jenius. Sekali lagi hal tersebut hanya dimiliki Jenderal Soeharto.


Berani Mengambil Keputusan yang Beresiko Tinggi
Banyak sumber sejarah yang menyebutkan bahwasanya Super Semar didapat oleh Jenderal Soeharto dengan cara paksa. Andaipun hal tersebut benar, kesimpulan yang dapat kita tarik di sini menyebutkan, bahwasanya Jenderal Soeharto memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang beresiko tinggi.

Bisa dibayangkan, bagaimana seorang Jenderal mampu memaksakan kehendak kepada seorang Presiden RI/Mandataris MPR/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno. Hanya Jenderal yang berjiwa harimau mampu melakukan semua itu. Jenderal Soeharto berdiri di persimpangan jalan dan hanya memiliki dua pilihan: menjadi Presiden, atau mati digantung sebagai seorang yang melakukan kudeta. Mampukah kita melakukan hal itu? Jawabannya sudah pasti, TIDAK MAMPU. Karena kita hanya bagian dari orang-orang berjiwa kerdil. Kita hanya mampu berteriak kepada seseorang apabila orang tersebut dalam posisi lemah dan tidak lagi berkuasa.


Mampu Menstabilkan dan Meredam Kondisi yang Ada
Pasca lengsernya Presiden Soeharto, jabatan Presiden RI datang silih berganti personil. Sepintas bagaikan orang keluar masuk di kamar kecil yang ada di terminal. Mengapa demikian? Jawabannya hanya satu, mereka tidak bisa menguasai dan meredam kondisi yang ada.  Jangan berdalih, bahwa kesadaran berdemokrasi di Indonesia saat ini jauh lebih tinggi dibanding jaman Presiden Soeharto, tapi jawablah dengan jujur bahwa saya lebih bodoh dari Jenderal Soeharto. Jangan katakan bahwa Jenderal Soeharto dengan jahat telah membungkam aspirasi rakyat, tapi katakanlah Jenderal Soeharto begitu jenius untuk membungkam aspirasi rakyat.

Melihat dari berbagai kenyataan yang tertuang di atas, maka kita sebagai generasi penerus suatu bangsa harus mampu menyerap LANDASAN BERPIKIR JENDERAL SOEHARTO, hal ini akan sangat berguna untuk kelangsungan hidup kita sebagai sebuah pribadi ataupun kita sebagai bagian suatu bangsa menghadapi masa depan. Tinggal kemampuan kita memberi FILTER NORMA AGAMA dalam aplikasi nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar